Politik Identitas Dalam Kontekstasi Pemilu Indonesia

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Ditulis dalam bentuk makalah oleh :
1. Ahmad Husein (17110009)
2. Fahrizal S. Siagian (17110001)
3. Zuraida L. Tungkup (17110028)
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar - Medan.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. Tuhan Yang Maha  Esa. Yang telah memberikan kemudahan kepada penyusun yang pada akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara yang berjudul “Politik identitas Dalam Konteks Pemilu di Indonesia”. Makalah ini tidak akan terselesaikan  tanpa adanya peran dan bantuan serta masukan dari beberapa pihak. Oleh sebab itu, sudah semestinya penyusun mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
  1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan, Bapak Warsiman, S.H, M.H. 
  2. Kepala Program Studi Ilmu Hukum, Ibu Ervina Sari Sipahutar,  S.H, M.H.
  3. Dosen Mata Kuliah Hukum Tata Negara, Ibu Ervina Sari Sipahutar, S.H, M.H.
  4. Seluruh dosen yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan. 
  5. Seluruh Keluarga dan teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan.

Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kejanggalan. Namun, penyusun mengharapkan dengan adanya makalah ini, dapat memberi secerca manfaat bagi kelangsungan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tata negara di dalam masyarakat Indonesia. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 17 Oktober 2018
                                        
Makalah ini berisikan sebagai berikut :

BAB  I  PENDAHULUAN 
       A. LATAR BELAKANG
       B. PERMASALAHAN    
       C. TUJUAN PENULISAN

BAB II  PEMBAHASAN    
A.  PEMILU YANG DEMOKRATIS, AKUNTABEL,
DAN TRANSPARAN       
B. POLITIK IDENTITAS        
  C. BAHAYA POLITIK IDENTITAS DALAM KONTEKS PEMILU
DI  INDONESIA DAN PENYELESAIANNYA

BAB III PENUTUP  
         KESIMPULAN  
         SARAN   
         DAFTAR PUSTAKA    


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polistaia. Polis artinya kesatuan masyarakat yang mengurus sendiri/berdiri sendiri(negara), sedangkan taia berarti urusan. Politik ini berawal dari negara kota/polis di Yunani kuno. Mereka mengurusi urusannya sendiri dan bersifat berdiri sendiri. Pengertian politik mengandung arti berbeda-beda. Jadi, politik itu adalah tindakan dari satu kelompok individu mengenai  suatu masalah demi masyarakat atau negara. Politik merupakan penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita hendaki. Sedangkan politik dalam negara demokrasi itu berlandaskan kedaulatan rakyat. Rakyat yang menentukan kemana pilihan nuraninya. Tanpa campur tangan siapa pun. Maka semua suara rakyat tersebut tersalurkan melalui pemilihan yang  baik dan benar.

Partai merupakan suatu wadah yang berisi banyak orang untuk mengeluarkan aspirasi atau pemikiran yang dijamin di dalam UUD 1945. Sejak dahulu  di Yunani Kuno telah diadakan sebuah pemerintahan yang demokrasi. Walaupun silih berganti dari yang awalnya sistem monarki berubah jadi oligarki,kemudian menjadi tirani dan akhirnya bermuara ke sistem demokrasi. Politik identitas kian santer terdengar. Politik yaitu suatu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Identitas merupakan sebuah ciri khas yang dimiliki seseorang yang membedakannya dengan yang lain atau dengan kata lain simbol-simbol.

Di Indonesia wujud dari demokrasi yang sesungguhnya dimulai pada pemilu pertama 1955. Dimana empat parpol yang menjadi kekuatan utama, yaitu PNI, MASYUMI, NU, dan PKI. Pada saat itu PKI memberikan sebuah suntikan yang mempengaruhi rakyat pada saat itu. Sehingga banyak yang menjadi simpatisan yang akhirnya mereka menjadi partai dengan perolehan kursi di parlemen saat itu terbanyak nomor 4 setelah PNI, MASYUMI, dan NU.    Dari kejadian itu hingga sekarang, suntikan dengan selogan Politik Identitas itu sungguh nyata terlihat di masyarakat. Politik Identitas di Indonesia lebih bermuatan etnisitas,agama, dan ideologi politik. RMS, OPM, dan GPM (Gerakan Papua Merdeka) sebagai misal antara perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil,khususnya bagi Aceh dan Papua. Gerakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. Kecuali GPM yang masih seperti api dalam sekam sampai hari ini, gerakan-gerakan politik identitas lain seperti tersebut di atas, relatif telah dapat diatasi melalui kekerasan senjata ataupun diplomasi persuasif.

Politik Identitas tersebut telah menciderai kancah perpolitikan negeri akhir-akhir ini. Telah banyak kejadian yang menunjukkan fakta dilapangan yang menunjukkan eksistensi politik yang berbau SARA. Maka dari itu, kami dari semua kejadian yang pernah terjadi melanda Indonesia, kami merasa perlu membahas tentang politik identitas yang akhir-akhir ini sedang aktual diperbincangkan di dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah yang kami angkat yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah yang dikatakan dengan pemilu yang demokratis, akuntabel, dan transparan ?
2. Bagaimanakah yang dikatakan  politik identitas ?
3. Bagaimanakah bahaya politik identitas dalam konteks pemilu di Indonesia dan solusi untuk mengatasinya ?

C. Tujuan Makalah.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Agar mengetahui bagaimana yang dimaksud  dengan pemilu yang demokratis, akuntabel, dan transparan.
2. Agar mengetahui bagaimana yang dimaksud politik identitas.
3. Agar menerangkan kepada masyarakat bagaimana bahaya praktik politik identitas yang terjadi di berbagai daerah dalam dunia pemilu indonesia beserta solusi tepat bagi masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemilihan Umum.

1. Pengertian Pemilu secara umum dan menurut Undang-Undang.
Menurut Undang-Undang RI No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemilihan umum (pemilu) adalah proses memilh orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata “pemilihan” lebih sering digunakan.

2. Pendapat Para Ahli Tentang Pemilu.
  1. Menurut (Ramlan,1992:181) pemilu diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.
  2. Menurut Ali Moertopo, pengertian pemilu sebagai berikut “pada hakikatnya pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan nya sesuai dengan asas yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945.pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu lembaga denokrasi yang memilh anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPD, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara”. 
  3. Menurut Suryo Untoro “bahwa Pemilihan Umum (yang selanjutnya disingkat Pemilu) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara indonesia yang mempunyai hak pilih,untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat,yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II.

3. Pemilihan Umum yang Demokratis
Pengertian demokratis adalah yang bersifat demokrasi artinya negara demokratis adalah negara yang menerapkan demokrasi dimana negara mengutamakan persamaan hak, kewajiban dan perlakuan sama bagi semua warga negara dengan demikian demokratis merupakan sifat dari bentuk atau sistem pemerintahan, demokratis menunjukkan kadar partisipasi rakyat semakin tinggi baik dalam memilih pejabat publik mengawasi perilakunya maupun dalam menentukan arah kebijakan publik. Rakyat mempunyai akses untuk menentukan siapa yang sepatutnya pemerintah mereka,apa yang dilakukan serta menilai keberhasilannya dan kegagalannya. Kadar demokrasi suatu negara ditentukan oleh 2 hal yang pertama, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat negara baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, pemilihan pejabat publik langsung ole rakyat,maka semakin tinggi kadar demokras dari negara tersebut.yang kedua, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik.semakin besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik semakin tinggi kadar demokrasinya.
Pemilu di Indonesia mempunyai 2 landasan, yaitu : 
  1. Landasan secara ideal.  Pemilu Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai ideologi bangsa terkhusus pada sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. 
  2. Landasan secara Konstitusional. Pemilu Indonesia berlandaskan pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 serta berlandaskan pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Pada hakikatnya Pemilihan Umum di Indonesia itu apabila dijalankan semua apa yang telah diamanatkan di dalam pembukaan maupun di batang tubuh UUD 1945 dan di dalam Pancasila, maka pemilu di Indonesia akan dikatakan pemilu super demokratis yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan mengesampingkan kepentingan pribadi maupun golongan. Seperti yang dikemukakan oleh seorang mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Beliau mengatakan bahwa “Government of the people, by the people, and for the people”. Artinya apa ? Artinya semua hak-hak rakyat harus diutamakan tanpa terkecuali. Adanya pemerintah yang berasal dari rakyat dan oleh rakyat dan pada akhirnya kekuasaan pemerintahan itu untuk rakyat.

Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai apakah pemilu diselenggarakan secara demokratis atau tidak : 
  1. ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM.
  2. terdapat persaingan yang adil dari peserta pemilu. 
  3. terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate. 
Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan yang tidaklah dapat terpisahkan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis di sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Pertama, pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan proses pencalonan peserta pemilu. Pemilu dapat dikatakan demokratis apabila pada saat proses pencalonan peserta pemilu, memberikan peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mencalonkan dirinya sebagai peserta pemilihan umum. Telah diatur secara tegas di dalam undang-undang bahwa peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah perseorangan yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, peserta pemilu DPD adalah perseorangan yang telah memenuhi persyaratan, dan peserta pemilihan kepala daerah adalah perseorangan yang berasaldari partai politik atau calon independen.

Kedua, terdapat persaingan yang adil diantara peserta pemilu. Hal ini erat kaitannya dengan pelaksanaan pemilu itu sendiri. Pelaksanaan pemilu yang demokratis tidaklah cukup jika hanya memberikan peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mencalonkan dirinya sebagai peserta pemilu. Peluang yang sama dalam hal pencalonan tersebut haruslah juga dibarengi dengan peluang yang sama untuk kemudian menjadi pemenang dari pemilu itu sendiri. Itulah sebab mengapa pelaksanaan pemilu yang demokratis tidaklah hanya berbicara mengenai pelaksanaan pemilu itu dilakukan secara langsung ataupun perwakilan, namun lebih kepada bagaimana setiap peserta pemilu memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemenang  dalam    pelaksanaan pemilu. 

Ketiga, terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate. Kepercayaan masyarakat terhadap pemilu sehingga menghasilkan pemerintahan yang legitimate akan dengan sendirinya terbangun manakala tidak terjadi pelanggaran dan permasalahan terhadap hasil dari pelaksanaan pemilu. Kalaulah kemudian terjadi kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu, hal tersebut mampu diselesaikan secara demokratis dan proporsional melalui mekanisme hukum agar pemilu tetap legitimate. Terkait hal ini, MK hadir sebagai lem­baga peradilan yang me­miliki kewenangan untuk me­mu­tus­kan dalam ting­kat pertama dan akhir yang pu­tusannya ber­sifat final untuk me­mutus perselisihan ten­tang ha­sil pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sebagaimana termuat dalam Pasal 24C perubahan ketiga Undang-Undang Da­sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu merupakan wujud nyata dari implementasi demokrasi. Dengan kata lain, pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya sistem demokrasi. Akan tetapi yang perlu diketahui, meskipun pemilu merupakan wujud nyata implementasi demokrasi, tidak selamanya pemilihan bersifat demokratis. Oleh karenanya, pemilu sebagai salah satu aspek demokrasi juga harus diselenggarakan secara demokratis. Pemilu yang demokratis bukan hanya sekedar lambang, tetapi pemilu yang demokratis haruslah kompetitif, berkala, inklusif dan definitif (Muktie Fadjar: 2003).

Demokratis ialah apabila menjalankan paham demokrasi secara penuh.Maka Pemilihan Umum yang demokratis itu ialah  Pemilihan Umum yang berjalan dengan suatu slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Demokrasi). 

Mewujudkan pemilu yang demokratis tentu bukan perkara yang sederhana. Dibutuhkan tidak saja seperangkat instrumen regulasi yang tepat agar dapat mendukung terselenggaranya pemilu yang demokratis. Namun perilaku peserta dan peyelenggara pemilupun juga merupakan hal yang tidak kalah penting untuk mewujudkan hal tersebut. Hari ini, kedua hal penting tersebut justru masih berada pada fase yang tidak ideal untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Dari aspek regulasi misalnya, belum lama ini DPR melalui UU Pemilu telah menyepakati presidential treshold sebesar 20-25% yang praktis membuat kontestasi pemilu Presiden hanya dapat diikuti oleh parpol atau gabungan parpol yang mencapai angka tersebut.

Jika kita tarik kembali kepada ukuran pemilu yang demokratis, tentu hal ini menjadi suatu satu permasalahan dalam mewujudkan pemilu yang demokratis itu sendiri.Tidak hanya itu, permasalahan dari as­pek regulasi lainnya adalah dengan di­munculkannya ambang batas mak­simal yang harus dipenuhi oleh peserta pemilihan kepala daerah yang ingin mengajukan sengketa pilkada ke MK. Hal ini praktis membuat MK kini kem­bali kepada paradigma Mahkamah Kal­kolator, bukan lagi MK yang memiliki tugas sebagai “the guardian of constitution and the guardian of democracy”. Lagi, hal ini menjadi permasalahan dalam upaya mewujudkan pemilu yang demokratis di Indonesia.

4. Pemilihan Umum yang Akuntabel.
Akuntabel ialah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan kedua hal tersebut,dimana pertanggungjawaban ini menyangkut sumbernya,proses yang dilakukan dan juga hasil yang didapatkan. 

Pemilihan umum di Indonesia mengandung suatu sifat yang harus dipertahankan dengan baik yakni Akuntabilitas atau akuntabel. Maknanya adalah segala sesuatu proses berjalannya Pemilihan umum dan juga hasil Pemilihan Umum itu harus dapat dipertanggungjawabkan kebenaran, dan keabsahannya. Karena hal ini menyangkut kepentingan publik, aspirasi rakyat  atau suara rakyat Indonesia  dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.Karena Pemilihan umum ini dalam proses berjalannya membutuhkan suatu kerja sama antar beberapa lembaga negara, dalam hal ini antara lain Komisi II DPR-RI, Komisi Pemilihan umum, BAWASLU, DKPP dan PANWASLIH. Kesemua lembaga negara tersebut bekerja sama demi tercapainya suatu pesta demokrasi yang tetap menjaga prinsip transparansi pemilu.
5. Pemilihan Umum yang Transparan.
Transparan maknanya bebas, terbuka dan tidak ada yang ditutup-tutupi serta dapat dipertanggung  jawabkan kebenarannya. Dalam penyelenggaraan Pemilu harus terbuka dalam hal informasi maupun komunikasi kepada rakyat serta dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.Pemilihan umum yang transparan akan memunculkan semangat demokrasi dan menghindarkan praduga-praduga yang tidak baik tentang jalannya Pemilu.Pemilu terselenggara atas sinergitas yang tinggi antara lembaga negara.Pemilu mempunyai proses dan hasil pemilu yang jelas dan dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak terkait akan kebenaran dan kelegalan hasil Pemilu yang menjadi bahan konsumsi di masyarakat.
B. Politik Identitas.

1. Pengertian Politik Identitas.
Politik Identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang diadopsi tahun 1976 juga memberi wewenang negara untuk melarang secara hukum hasutan kebencian dalam bentuk apa pun melalui advokasi kebencian nasional, rasial, dan keagamaan, termasuk hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Lainnya, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Tindak Pidana Genosida; Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan Deklarasi PBB tentang Hak Penduduk Asli.Politik identitas yang menyuarakan politik kebencian.

Politik identitas  menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.
  • Cressida HeyesPolitik identitas dalam defenisinya adalah suatu jenis aktivitas politik yang dia kaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan-golongan tertentu, sehingga menghimpun kesatuan untuk menaikan drajat dan martabatnya.
  • Stuart HallPolitik identitas dimaknai sebagai suatu proses yang dibentuk melalui sistem bawah sadar manusia, sistem ini rejadi karena adanya ketidakpuasaan dalam menghadapi berbagai macam masalah-masalah sosial yang terjadi.
Dari pengertian para ahli di atas, mengenai pengertian politik identitas dapat disimpulkan secara umum bahwa politik identitas adalah politik yang di dasari pada kesamaan masyarakat yang terpnggirkan atau yang mencoba menghimpun kekuatan untuk meniakan kelompok-kelompok tertentu.

2. Ciri-Ciri Politik Identitas.  
Ciri khas yang ada di dalam politik identitas  antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Memiliki kesamaan dan tujuan untuk membentuk kekauatan berdasarkan peta politiknya.
  2. Ketidakpuasaan yang muncul dari dalam masyarakat yang merasa terpinggirkan.
  3. Memberikan jalur politik sebagai alternatif untuk menyatukan kekuatan dalam rankaian agenda demokrasinya.

3. Contoh Politik Identitas.
Contoh yang dapat diberikan mengenai politik identitas ini antara lain adalah sebagai berikut : 
  1. Politik Identitas Etnis Contoh pertama adalah politik identitas berdasarkan etnis, misalnya saja adanya pemilah kepada daerah yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Mentingkan kesamaan etnisnya untuk mendulang kemenangan dan kekauatan.
  2. Politik Identitas Agama.
  3. Contoh mengenai politik identitas agama, misalnya saja dalam terbentuknya PAN (Partai Amanat Nasional) yang didasari atas ketersaingan dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Dua paratai ini sama-sama memiliki simbul agama untuk mendulang kekuatan dan kemenangan. Untuk PAN berbasis Muhammadyah, dan untuk PKB berbasis NU (Nahdlatul Ulama).  
  4. Politik Identitas GenderJenis kelamin dan gender pada saat ini menucul sebagai salah satu politik identitas, misalnya adalah adanya kuota khusus yang dilakukan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada para wanita berkarir di dunia politik. Tentu saja kondisi ini menjadikan timbulnya politik identitas, dimana kaum perempuan yang selama ini merasa terpinggirkan pada akhirnya bisa bersatu untuk memberikan dukungan dan mengutus keterwakilan perempuan dalam dunia politik.Contohnya Puan Maharani (Putri Megawati Soekarnoputri); Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini dan masih banyak lagi tokoh perempuan pejuang Emansipasi wanita Indonesia masa kini.

C. Bahaya Politik Identitas dalam Konteks Pemilihan Umum di Indonesia.

Politik merupakan suatu cara yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan tujuan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik juga diartikan sebagai suatu seni dan ilmu untuk memperoleh kekuasaan secara konstitusional maupun inkonstitusional. Banyak tokoh nasional maupun internasional yang menuangkan pemikiran tentang apa itu Politik. Seperti halnya mantan Perdana Menteri Inggris. ”Dalam perang kita hanya mati sekali, tapi dalam politik kita bisa mati berkali-kali”. Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris semasa Perang Dunia II (1875-1965), mewariskan nalar itu dalam melihat politik. Politik biasa saja apabila ditinjau dari segi arti sangatlah berbahaya. Apalagi ketika berbicara tentang Politik yang membawa-bawa simbol-simbol sosial seperti suku, agama, ras dan antar golongan. Kesemuanya itu yang paling menonjol hari ini ialah tentang politik identitas yang notabene nya merupakan cara ampuh untuk memenangkan kompetisi demokrasi nasional. Belasan tahun pasca tumbangnya Orde Baru, kita dihadapkan pada dominasi politik identitas. Isu SARA digadang untuk golkan kepentingan politik. Coen H. Pontoh memandang, jika ini dibiarkan, bisa berujung pada fasisme.

Setelah lebih dari 15 tahun pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto, hari-hari ini kita dihadapkan pada dominasi politik identitas (identity politics). Berbagai kekuatan politik dan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat berlomba-lomba memainkan sentimen agama, ras, etnis, dan jender untuk menggolkan agenda-agenda politiknya. Perhelatan pemilu presiden 2014 lalu merupakan tontonan paling vulgar tentang bagaimana politik identitas dioperasikan. Dan hampir sukses. Kini, hal yang sama tampaknya akan kembali terulang dalam Pemilu dan Pilpres 2019.

Mengapa politik identitas ini begitu dominan dalam perbincangan publik kita? Ada dua penyebabnya yaitu sebagai berikut :

Pertama, secara ideologis tidak adanya kontestasi ideologi yang sehat dan terbuka di antara berbagai kekuatan politik yang ada. Absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini mengandalkan identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya.

Kedua, politik identitas ini juga terfasilitasi oleh perkembangan kelembagaan politik pasca Soeharto, khususnya oleh maraknya pemekaran daerah-daerah baru hasil dari kebijakan otonomi daerah. Di daerah-daerah baru ini, politik identitas merupakan pondasi utama bagi setiap kontestan untuk memenangkan pertarungan politik formal dan informal. Penganut politik identitas lebih suka potong kompas dalam menjelaskan fenomena sosial tersebut sebagai masalah moral: “karena pemimpinnya bukan orang kita”. Dampak dari cara pandang ini, penganut politik identitas tidak pernah menawarkan sebuah solusi yang tujuannya untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil itu, tetapi mencari pemimpin yang baik dari kalangan mereka sendiri. Inilah realitas politik yang tengah mengepung kita hari-hari ini. Realitas politik yang partikular dan emosional, yang sayangnya, memiliki barisan pengikut yang panjang.

Menjual isu SARA dan Gender
Dua keadaan ini menyebabkan partai politik dan aktor-aktor politik yang ada mengidentikkan dirinya dengan rakyat pemilih bukan berdasarkan progam-program politik yang rasional dan terukur, melainkan melalui cara-cara yang sarat emosi dan persuasif. Misalnya, dengan menjual isu agama, etnis, atau jender, sehingga pemilih dikondisikan untuk memilih “bersama kami atau menjadi musuh kami”. Jangan pilih si A karena ia berbeda agama atau berbeda etnis dengan kita. Di sini, diktum yang berlaku adalah “apa yang rasional adalah identitas kita dan identitas kita itulah yang rasional”.

Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik kita sehari-hari (everyday politics), menurut yang sepatutnya bukan hal yang patut dirayakan. Sebaliknya, kita perlu mengkritisinya secara serius : 

Pertama, politik identitas karena mudah diserap oleh panca indera, cenderung menyebabkan terjadinya segregasi sosial secara horisontal. Aku dan dia, kita dan mereka. Segregasi ini terjadi karena masing- masing identitas berusaha mengokohkan dan meneguhkan otentisitasnya. 

Hal ini kemudian bisa berujung pada hal kedua, yakni politik isolasi sekaligus eksklusi. Mengisolasi diri agar tidak tercemar pengaruh dari luar, sekaligus mengeksklusi karena yang lain itu dianggap tidak murni.

Berujung di fasisme.
Ketiga, ujung ekstrim dari politik identitas ini adalah fasisme, baik fasisme relijius maupun fasisme sekuler yang berbasis ras dan etnis. fitnah, pemutarbalikkan fakta (alias konspirasi) dan mobilisasi massa untuk tujuan kekerasan di jalanan, merupakan ciri-ciri umum dari fasisme.

Keempat dan terakhir, politik identitas ini mengabaikan dimensi ekonomi politik dari sebuah gejala sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi yang akut dalam masyarakat  sebagai akibat struktural dari sistem ekonomi politik yang dianut oleh pemerintahan yang berkuasa. Penganut politik identitas lebih suka potong kompas dalam menjelaskan fenomena sosial tersebut sebagai masalah moral: “karena pemimpinnya bukan orang kita”. Dampak dari cara pandang ini, penganut politik identitas tidak pernah menawarkan sebuah solusi yang tujuannya untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil itu, tetapi mencari pemimpin yang baik dari kalangan mereka sendiri.

Inilah realitas politik yang tengah mengepung kita hari-hari ini. Realitas politik yang partikular dan emosional, yang sayangnya, memiliki barisan pengikut yang panjang. Pakar politik, Dr. Thomas Meyer dari Universitas Dortmund, Jerman, dalam sebuah ceramah di Jakarta tahun 2011 mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan paham yang menawarkan “ruang perlindungan” melalui identitas yang eksklusif. Fundamentalisme senantiasa bertendensi membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang  dengan demikian secara sistematis mengisolasi perbedaan pendapat, meragukan alternatif dan keterbukaan. Hal ini yang menanamkan pandangan bahwa kekerasan pun bisa menjadi pilihan yang dibenarkan oleh agama yang mencirikan pandangan fundamentalisme.

Pandangan fundamentalisme yang seperti ini mendorong munculnya politik identitas yang melakukan politisasi perbedaan, terutama agama, sebagai alat mendapatkan legitimasi politik. Identitas agama dijadikan sarana mobilisasi massa, khususnya dalam pemilihan umum, untuk mengabdi pada kepentingan politik dan akumulasi kapital. Politik identitas berkecenderungan memanfaatkan peluang politik  merebut kekuasaan melalui tumbuhnya fundamentalisme di tengah masyarakat. Dan di sisi lain, praktik politik identitas juga mendorong suburnya pertumbuhan fundamentalisme.

Politik identitas sering menjadikan pemilihan umum sebagai proses demokrasi untuk mencapai kekuasaan dalam upaya mengubah atau kembali pada paham yang mereka yakini sebagai dasar atau asas dalam masyarakat atau negara, sehingga kelompok ini sering  berbenturan dengan kelompok lain, bahkan di lingkungan mereka sendiri.Watak fundamentalisme yang berpotensi menciptakan antagonisme, sering kali membuat perbedaan menjadi bersifat eksplosif ketika dipolitisasi. Dalam proses politik, khususnya pemilihan umum , kecenderungan menciptakan antagonisme nyaris tak terhindarkan. Pemilih sering “dilemparkan” pada arena untuk melihat dan menghadapi pihak lain sebagai “kawan” atau “musuh.” Kompetisi seperti ini yang berpotensi menjadi konflik berkekerasan.
Meskipun politik identitas tidak memberi kontribusi agar politik mencapai tujuan sebenarnya dalam membangun ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan, Meyer menyebutkan juga bahwa politik identitas terbukti sebagai resep universal yang berguna untuk mencapai kekuasaan, bahkan cara yang “murah.” Barangkali hal ini yang menjadikan elite politik begitu gampang menggunakan politik identitas untuk merebut kekuasaan. Namun di sinilah letak perbedaan proses politik itu sebagai “perebutan kekuasaan” atau “kompetisi menjadi pemimpin”.

Dalam pemilihan anggota legislatif April lalu dan pemilihan presiden yang tengah berlangsung, sayangnya kita menyaksikan digunakan dan dipraktikannya politik identitas. Isu yang menyudutkan pihak lain atas dasar perbedaan identitas tentang etnis, ras, jender, dan keyakinan digunakan dalam kampanye dengan massif, bahkan secara terbuka. Hal ini makin terasa pada pemilihan presiden, dan terutama oleh para pendukung mereka.Isu-isu identitas seperti itu bertendensi bahwa warga negara yang meskipun mempunyai hak dipilih, menjadi tidak layak dipilih lantaran latar belakang etnis, ras, jender dan keyakinan mereka. Bukan karena kemampuan dan kredibilitasnya dalam menjalankan UU dan konstitusi. Isu-isu seperti itu jelas merampas hak asasi warga negara yang bersangkutan, dan HAM adalah basis dari demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Munculnya fenomena tersebut juga menandai cara berpikir fundamentalisme yang tertutup dan menegasikan alternatif, namun  dikemas dengan tujuan memberi keamanan, keyakinan, orientasi, dan identitas eksklusif yang mantap dan dengan kebenaran yang menyeluruh. Cara berpikir seperti ini akan menimbulkan ketegangan dan konflik terus-menerus. Kita bisa melihat contoh pada situasi di sejumlah negara yang terus dirundung konflik, bahkan konflik bersenjata, dicirikan oleh kuatnya praktik politik identitas. Kelompok-kelompok itu, bahkan menghadapi konflik internal yang tak kunjung habis.Politik identitas yang dipraktikkan oleh sebagaian anasir dalam politik di Indonesia, bisa menjadi bahaya yang serius. Mereka bukan saja memanfaatkan kelompok dengan paham fundamelisme, tetapi juga proses politik dan demokrasi dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok fundamentalisme untuk tujuan eksklusif mereka yang pasti bertentangan dengan tujuan konstitusi. Fundamentalisme berpotensi pada semua agama, dan politik identitas dengan memanfaatkan fundamentalisme agama berpotensi di banyak negara, salah satunya ada di Indonesia. Dalam konteks dan situasi Indonesia, hal ini pantas menjadi perhatian para elit politik untuk tidak bermain api dengan politik identitas. Atau setidaknya harapan ada pada “kearifan” warga negara yang bersedia berpolitik dengan lebih rasional, yaitu berani menolak praktik politik identitas yang dicerminkan dalam pilihannya pada proses politik.

Solusi tepat untuk mengatasi politik identitas yang semakin hari semakin mengkhawatirkan ialah dengan memperkuat ideologi nasional kita yakni Pancasila dan menjadikannya sebagai landasan yang benar-benar diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Dan tidak lupa juga memegang teguh semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Agar dalam setiap masalah mampu teratasi dengan baik.Ketika kita mampu mengamalkan apa yang disebut dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, kita bisa terhindar dari perpecahan yang sungguh mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.Ketika “Pancasila” dan “Bhinneka Tunggal Ika” dapat diamalkan dan dipegang teguh oleh setiap warga negara, maka kita juga harus mengamalkan nilai-nilai kesatuan yang tertanam di dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Singkat cerita kita harus mengamalkan apa yang dinamakan Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara.

BAB III 
PENUTUP

A. Kesimpulan.
1. Pemilihan umum (pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (LUBERJURDIL).     
  • Demokratis ialah apabila menjalankan paham demokrasi secara penuh.Maka Pemilihan Umum yang demokratis itu ialah  Pemilihan Umum yang berjalan dengan suatu slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Demokrasi).
  • Pemilihan Umum yang akuntabel adalah  segala sesuatu proses berjalannya Pemilihan umum  dan juga hasil Pemilihan Umum itu harus dapat dipertanggungjawabkan kebenaran, dan keabsahannya.
  • Dalam penyelenggaraan Pemilu harus terbuka dalam hal informasi maupun komunikasi kepada rakyat serta dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, hal itulah yang dikatakan Pemilu yang transparan.

2. Politik Identitas merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.

3. Politik Identitas terjadi di Indonesia setelah 15 tahun orde lama tumbang dan para penganut politik identitas tidak pernah menawarkan sebuah solusi yang tujuannya untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil itu, tetapi mencari pemimpin yang baik dari kalangan mereka sendiri.Hal ini yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,memecah belah NKRI dan menimbulkan kegaduh an di tengah-tengah masyarakat. Dan itulah yang terjadi di Indonesia hari ini.Dan cara ampuh dalam mengatasi politik identitas ini ialah kita harus mengamalkan apa yang dinamakan Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara dan menyadari bahwa Indonesia ialah bangsa yang majemuk dan bangsa demokrasi yang dijunjung tinggi oleh segenap warga negaranya.

B. Saran.    
  • Diharapkan  masyarakat kita lebih cerdas dalam mengelola hak pilihnya dalam pesta demokrasi Indonesia.
  • Pemerintah seharusnya  lebih tanggap lagi, agar mensosialisasikan bahaya Politik Identitas yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
  • Mengamalkan “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara secara utuh dalam kehidupan sehari-hari pada lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Masyarakat diharapkan agar lebih jernih dalam berfikir dan menyadari bahwa negara  ini ialah negara demokrasi terbesar di dunia saat ini.  

3. Daftar Pustaka
  • Kancil, C.S.T. Drs, SH. 1979. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 
  • Salman, Otje. 2009. Filsafat Hukum. Bandung : PT. Refika Aditama.
  • Hadjon, Philipus M, et al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Proyek Kerjasama Hukum Indonesia - Belanda, Surabaya, 1990.
  • Asshiddiqie, Jimly. Prof.  Dr, SH. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jawa Barat : PT. Rajawali Press.

Tulisan ini dikirimkan oleh :

Fahrizal S. Siagian
NPM : 17110001
Fakultas Hukum (Program Studi Ilmu Hukum)
Universitas Al-Azhar Medan

Riwayat Organisasi Fahrizal S. Siagian :
  1. Wasekjen. DPM Universitas Al-Azhar Medan
  2. Ketum Formadiksi Universitas Al-Azhar Medan Periode 2019 - 2020
  3. Kadiv. Hukum dan HAM Ikatan Mahasiswa Hukum Universitas Al-Azhar Medan

Semoga bermanfaat