Teori sosiologi sastra yang tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat, ditemukan terutama dalam teori kultural atau ideologis general dari Gramsci. Kerangka teori Gramsci tersebut setidaknya mengandung enam konsep kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual, dan negara.
Gramsci menganggap dunia gagasan, kebudayaan, dan superstruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari stuktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang diatasnya manusia bergerak.
Menurut Gramsci, hubungan antara yang ideal dengan yag material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling bergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material.
Persoalan kulturan dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, irradiasi, penyebaran, dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni.
Hegemoni berarti kepemimpinan. Bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat, di mana suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa.
Hegemoni memperkenalkan dimensi kepemimpinan moral dan intelektual yang tidak terdapat dalam bentuk-bentuk analisis marxis yang lebih ortodoks, dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan itu sudah dibangun secara historis. Jika marxisme ortodoks menekankan pentingnya peranan represif dari negara dan masyarakat-masyarakat kelas, Gramsci memperkenalkan dimensi masyarakat sipil untuk melokasikan cara-cara yang kompleks, yang di dalamnya terdapat kesetujuan pada bentuk-bentuk dominasi diproduksi.
Lewat konsep hegemoni tersebut, dalam berbagai konteksnya Gramsci membuat tiga tantangan yang berbeda, yaitu :
- Tantangan terhadap tradisi idealis liberal yang memahami persoalan-persoalan kebudayaan sebagai sesuatu yang hakekatnya a politis atau sebagai persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik.
- Tantangan terhadap rekan-rekan marxisnya yang membalikkan prosedur tersebut dan mereduksi kebudayaan semata-mata semata-mata sebagai refleksi dari dasar ekonomi masyarakat (ekonomisme).
- Tantangan terhadap zamannya sendiri untuk mentransformasikan hegemoni negara menjadi suatu kepemimpinan moral dan intelektual yang baru, yang akan meluas dan demokratik.
Bagi Gramsci, ada suatu pertalian yang penting antara kebudayaan dan politik. Kebudayaan harus dipecah-pecah menjadi berbagai macam bentuknya dan dianalisis dalam batas-batas efektifitasnya dalam bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks.
Gramsci menolak konsepsi marxis yang lebih kasar dan lebih ortodoks mengenai dominasi kelas, dan lebih menyukai pasangan konsep yaitu kekerasan dan kesetujuan. Terutama berkaitan dengan cara-cara yang berkaitan dengan rangkaian yang kompleks dan menyeluruh dari praktek-praktek kultural, politis, dan ideologis, yang bekerja untuk mempererat masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif. Banyak orang mempertanyakan karya Gramsci, terutama mengenai sebab-sebab suatu bentuk kultural dianggap readah atau tinggi secara historis, efek-efek dari pembagian itu, dan bagaimana pembagian itu direproduksi sekarang.
Semoga bermanfaat.