Stoa merupakan aliran filsafat besar setelah Aristoteles di Yunani. Aliran Stoa didirikan oleh Zenon dari Kition sekitar tahun 300 Sebelum Masehi. Nama Stoa berasal dari tempat para filsuf berkumpul yaitu stoa poikile yang artinya balai bertiang warna-warni. Filsafat Stoa sangat bertolak belakang dengan filsafat Plato dan Aristoteles. Bagi Stoa, Yang Ilahi dan alam menyatu. Tak ada Allah di belakang alam semesta. Yang Ilahi adalah alam semesta. Pandangan dunia Stoa adalah monistik yaitu dunia itu sekaligus materiil. ilahi, dan rasional. Ia merupakan kesatuan homogen, tetapi dalam kesatuannya itu ia tertata secara hierarkis.
Aliran Stoa terbagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu :
- Stoa tua, berkembang sekitar abad ke-3 Sebelum Masehi, dengan tokoh-tokohnya Zenon, Kleanthes, dan Chrysippos.
- Stoa menengah, berkembang sekitar abad ke-2 Sebelum Masehi, dengan tokoh-tokohnya Panaetios, Poseidonios, dan Cicero.
- Stoa muda, berkembang mulai abad ke-1 Masehi, dengan tokoh-tokohnya Seneca, Epiket, dan Kaisar Marcus Aurelius.
Pada masa Kaisar Marcus Aurelius, Stoa menjadi agama etis para pemikir dari Yunani dan Romawi. Samapai pada pertengahan abad ke-3 Masehi, Stoa melebur dalam Neoplatoisme.
Aliran filsafat Stoa berpendapat bahwa seluruh realitas pada hakekatnya bersifat materiil. Segala yang ada bersifat bendawi. Namun ada materi yang lebi padat, benda-benda, dan ada yang halus yaitu kekuatan-kekuatan yang menggerakkannya yang oleh Stoa disebut api atau pneuma, jiwa. Kosmos atau alam semesta diresapi seluruhnya oleh logos atau akal budi ilahi. Logos bukan sesuatu dari luar yang terpisah dari alam semesta, melainkan tatanannya atau jiwanya sendiri. Logos adalah hukum alam universal yang mendasari segala gerak, yang menentukan apapun yang terjadi. Di alam semesta berlaku determinisme mutlak, artinya segala apapun terjadi dengan pasti, seluruhnya berada di bawah takdir.
Sebagaimana tradisi filsafat Yunani, etika Stoa dapat dipahami sebagai seni hidup yang menunjukkan jalan ke kebahagiaan. Berbeda dengan filsafat Yunani lainnya, untuk menuju ke kebahagiaan, Stoa berpendapat bahwa kehidupan manusia berhasil apabila ia dapat mempertahankan diri, menyesuaikan diri dengan hukum alam. Manusia mempunyai akal budi, sehingga manusia adalah mahkluk yang memiliki logos. Oleh karenanya, manusia melalui pemikirannya berpartisipasi dalam logos alam semesta, dalam hukum ilahi dan rasional yang mengatur serta menentukan segala-galanya yang terjadi.
Prinsip dasar etika Stoa adalah penyesuaian hukum alam. Stoa menggunakan istilah Oikeiosis yang berarti mengambil sebagai milik, maksudnya dalam proses penyesuaian diri, manusia menjadikan alam semesta sebagai miliknya. Sehingga menurut Stoa, perbuatan yang baik adalah menyesuaikan diri dengan hukum alam, perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri dengan hukum alam. Kebebasn manusia tidak berarti manusia bebas dari takdir, melainkan manusia mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam.
Cita-cita Stoa adalah Ho Sophos atau si bijaksana. Ia bahagia karena mengetahui diri berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum ilahi yang meresapi seluruh alam semesta. Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai cita-cita autarkia yang berarti bahwa manusia sama sekali berdiri pada dirinya sendiri. Autarkia merupakan kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarkia adalah pertahanan diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia.
Etika Stoa adalah etika yang keras, yang menekankan peran kehendak. Stoa tidak mencari perasaan nikmat atau perasaan bahagia, baginya kebahagiaan terletak dalam keutamaan moral sendiri, dalam tekad kehendak untuk melakukan kewajiban. Stoa adalah etika pertama yang menempatkan istilah kewajiban pada pusatnya. Keutamaan Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban, ia menuntut manusia menyangkal diri, melepaskan diri dari segala ketergantungan kepada benda-benda duniawi.
Etika Stoa mencapai puncaknya yang luhur dalam humanismenya. Stoa adalah etika filosofis pertama di dunia yang secara konsisten mengakui kesamaan derajat semua orang. Etika Stoa bersifat kosmopolitis, ia mengatasi segala batasan dan merangkul seluruh umat manusia. Dalam Stoa, untuk pertama kalinya dalam sejarah moralitas menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap orang sebagai manusia. Untuk pertama kalinya Stoa merumuskan cita-cita negara sedunia dan persaudaraan universal.
Etika Stoa yang paling berpengaruh adalah ajarannya tentang keutamaan. Stoa mengutamakan kebijaksanaan moral (phronesis), keadilan, keberanian, penguasaan diri, dan kemanusiaan. Tuntutan dasar ajaran moral Stoa adalah terimalah dan lepaskanlah.
Semoga bermanfaat.