Konsep perlawanan yang biasa dipakai dalam hukum internasional merupakan konsep penting dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Nilai positif dari konsep perlawanan terletak pada kenyataan bahwa apabila kaidah hukum domestik dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai sarana untuk melawan, maka hal tersebut tidak berarti bahwa kaidah hukum tersebut tidak sah berlakunya di wilayah negara yang bersangkutan.
Menurut Kelsen, bagaimanapun juga hukum internasional tidak mengatur prosedur ketidak berlakuan suatu kaidah hukum nasional di dalam kerangka nasional. Hal ini berarti bahwa apabila kaidah hukum nasional dinyatakan tidak dapat dipakai untuk melawan berdasarkan ketentuan hukum tata negara nasional, maka kaidah hukum tersebut juga tidak dapat dipakai untuk melawan terhadap negara-negara lain, selain negara yang mengajukan klaim. Kecuali negara lain tersebut secara tegas telah menyatakan ketidakberlakuan secara konstitusional terhadap kaidah hukum tersebut.
Sebagai contoh, menurut International Court of Justice dalam Opini Nasehat-nya tanggal 21 Juni 1971 mengenai Legal Consequences for State of the Continued Presence of South Africa in South West Africa (Namibia), dan juga penetapan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan secara tegas bahwa keadaan tertentu telah menyalahi hukum, dimungkinkan dapat menjadi dasar perlawanan dan sebagai landasan legalitas terhadap suatu masalah atau situasi tertentu bagi semua negara, baik anggota maupun bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehingga dalam masalah tersebut menurut pendapat International Court of Justice, penghentian mandat Afrika Selatan atas Afrika Barat Daya karena alasan penolakannya untuk tunduk terhadap pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta konsekuensi dari keberadaan mereka di wilayah tersebut secara tidak sah menurut syarat-syarat Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1970, dapat dijadikan dasar perlawanan bagi semua negara dalam pengertian menghalangi erga omnes legalitas pelaksanaan mandat Afrika Selatan secara terus menerus.
Bahwa pada kenyataannya pengadilan-pengadilan nasional pertama-tama harus memperhatikan hukum nasional-nya dalam hal terjadi konflik dengan hukum internasional, sama sekali tidak mempengaruhi kewajiban-kewajiban suatu negara untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional-nya. Meskipun bertentangan dengan hukum internasional, pengadilan nasional sebagai organ suatu negara yang tunduk pada hukum nasional, akan memikul tanggung jawab internasional dari negara tersebut. Oleh karena itu, pertentangan antara hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat dipakai sebagai alasan saat negara responden beracara di muka pengadilan internasional.
Demikian halnya dengan traktat, berlaku juga aturan yang sama. Suatu negara tidak dapat beralasan bahwa hukum nasionalnya membebaskan negara tersebut dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh sebuah traktat internasional, kecuali apabila kaidah hukum nasional mengenai pembentukan traktat yang dipakai sebagai dasar persetujuan traktat tersebut, dianggap tidak berlaku lagi dan merupakan kaidah yang bertentangan dengan hukum tata negara nasional.
Penyangkalan terhadap hukum internasional di hadapan pengadilan internasional tidak berarti bahwa kaidah-kaidah hukum nasional tidak relevan dalam kasus-kasus yang dibawa di muka pengadilan internasional. Seringkali dalam permulaan penentuan suatu gugatan internasional, pengadilan internasional memandang perlu memperoleh kepastian atau menafsirkan atau menerapkan hukum nasional.
Terakhir, hal perlu diingat bahwa berkenaan dengan cara pembentukan hukum nasionalnya, negara menurut hukum internasional memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan domestik di mana negara lain tidak berhak untuk mencampurinya, dengan ketentuan bahwa hukum nasional tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga mengefektifkan semua kewajiban internasional dari negara tersebut.
Semoga bermanfaat.